Nurul Lathiffah, S.Psi, M.Psi Pendamping PKH Dengok

marsono_marsono 17 Juni 2022 20:30:53 WIB

 Warta bahwa DPR menyepakati RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak dibahas untuk menjadi UU adalah angin segar dalam iklim ketenagakerjaan di Indonesia. Sebagaimana lazim diketahui (dan dirasakan) bersama bahwa kasus penelantaran hak anak menjadi kasus yang akrab dijumpai. Padahal, hal tersebut bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan keadilan. RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) urgen untuk segera disahkan sebagai payung hukum yang akan melindungi perempuan dan anak dari berbagai bentuk ketidakadilan.

Pada prinsipnya, kesejahteraan ibu dan anak adalah hal yang tak bisa ditawar. Bila ibu dan anak tak sejahtera secara psikis, maka meski keluarga memiliki ketahanan ekonomi, namun akan menyisakan beragam konflik. Berangkat dari pemahaman bahwa 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) penting dalam keberhasilan tumbuh kembang anak, maka wacana kebijakan cuti melahirkan enam bulan menjadi 'iming-iming' bagi pekerja perempuan dan keluarganya.

Di berbagai negara dengan iklim kesejahteraan ibu dan anak yang baik, kebijakan cuti lebih dari tiga bulan bukan sekadar tren. Di Hungaria misalnya, kebijakan cuti melahirkan ditawarkan selama 16 bulan. Namun demikian, pekerja perempuan tetap mendapatkan gaji layak. Sedangkan, Finlandia yang terkenal dengan humanisasi dalam bidang pendidikan memberikan hak cuti selama 7 bulan (164 hari). Selain memberikan cuti, Finlandia juga memberikan tunjangan keluarga dalam rangka mendukung peningkatan kesejahteraan ibu dan anak.

Euforia dan Harapan

Pada umumnya, setiap perempuan akan sepakat dengan wacana kebijakan cuti melahirkan selama enam bulan. Bagaimana tidak? Hal ini akan memberikan keleluasaan bagi perempuan pasca melahirkan untuk memberikan ASI eksklusif. Selain itu, pekerja perempuan juga akan memiliki kesempatan untuk melakukan penyesuaian sosial dalam menjalani peran psikis, sosial, dan spiritual sebagai 'ibu baru' bagi bayi.

Namun, benarkah wacana kebijakan cuti bagi perempuan tepat diterapkan dalam budaya kerja dalam konteks Indonesia? Apakah pekerja perempuan masih 'menarik' bagi perusahaan atau instansi?

 

Meski menawarkan ide perpanjangan masa cuti, kontroversi wacana kebijakan cuti enam bulan terus bergulir. Sebagian yang setuju beranggapan bahwa hal itu akan meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak. Di sisi lain, banyak pula yang berpendapat bahwa kebijakan cuti enam bulan justru akan melahirkan diskriminasi pekerja. Kebijakan ini dikhawatirkan dapat menciutkan nyali instansi untuk mempekerjakan perempuan. Padahal, selama ini penerimaan terhadap pekerja perempuan sudah mencapai titik yang menggembirakan.

 

Konsekuensi yang disertai kekhawatiran terhadap kebijakan cuti enam bulan bukan isapan jempol belaka. Saat ini, permasalahan ketenagakerjaan saja belum selesai. Bukannya tidak optimis, tapi sesungguhnya kita perlu belajar dari kebijakan sebelumnya. Ketika muncul kebijakan pengadaan ruang laktasi saja, belum semua instansi mau untuk mewujudkan. Padahal, mewujudkan ruang laktasi tidak serumit membangun komitmen untuk toleran terhadap cuti pasca melahirkan selama enam bulan.

Kebijakan cuti enam bulan adalah bentuk kebijakan mulia untuk memberikan kesempatan pada anak pekerja perempuan tumbuh dengan kasih sayang utuh. Namun demikian, jangan sampai kebijakan ini justru menurunkan 'nilai' perempuan pekerja. Jangan sampai, kebijakan cuti enam bulan harus dibayar dengan tersingkirkannya kaum perempuan di dunia kerja. Pembahasan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak tetap harus berpijak pada kultur kerja Nusantara.

Wacana kebijakan cuti enam bulan merupakan euforia dan harapan. Namun, saya pribadi-sebagai pekerja perempuan-juga sepenuhnya sadar bahwa kesejahteraan ibu dan anak tidak melulu hanya distimulasi dengan rentang waktu cuti yang lebih panjang. Apalah arti cuti jika ibu bekerja tak mau memberikan ASI? Bukankah hal ini bertentangan dengan prinsip 1000 HPK?

Kesejahteraan ibu dan anak sesungguhnya dapat diupayakan dengan optimalisasi fasilitas pengasuhan ramah anak di tempat kerja semisal day care, ruang laktasi, fasilitas bermain, dan berbagai akses untuk menunjang kesejahteraan ibu dan anak.

Akhirnya, wacana cuti enam bulan yang demikian humanis harus tetap diperhitungkan dengan cermat. Jika pada akhirnya menjadi sebuah kebijakan, cuti enam bulan harus disertai sejumlah regulasi yang membangun relasi keadilan antara pekerja, instansi, dan keluarga.

 

Nurul Lathiffah, S.Psi, M.Psi konselor dan peminat kajian psikologi wanita

 

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar
 

Pencarian

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Pengunjung