10 Salah Kaprah Pelaksanaan UU Desa Menurut Dr Sutoro Eko Yunanto
marsono_marsono 31 Maret 2021 17:59:02 WIB
10 Salah Kaprah Pelaksanaan UU Desa Menurut Dr Sutoro Eko Yunanto
Dr. Sutoro Eko Yunanto, M.Si (kiri) saat bersama Presiden RI Joko Widodo (dok)
Jakarta, desapedia.id – Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komite I DPD RI bersama Pakar Desa dengan Agenda Penyempurnaan UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang digelar pada Selasa lalu (16/3), Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STMPD APMD) Yogyakarta, Dr. Sutoro Eko Yunanto menjelaskan tentang 10 salah kaprah dalam pelaksanaan UU Desa selama ini.
Menurutnya, dalam misi agung UU Desa menyebutkan bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Namun demikian, terang Sutoro Eko, alih–alih mengejar misi agung UU Desa tersebut, malah terjadi 10 salah kaprah dalam pelaksanaan UU Desa.
Salah kaprah pertama, yaitu negara malah melakukan reduksi dan distorsi UU Desa menjadi proyek dana desa. Sutoro Eo menyatakan, UU Desa tidak memandatkan ada turunan PP Dana Desa. Tetapi negara, melalui Kemenkeu, penguasa rezim keuangan, membikin PP No. 60/2014 tentang dana desa.
“PP itu yang mereduksi UU Desa dan menghadirkan “proyek dana desa”. Dana desa bukan lagi dimaknai sebagai sumber penerimaan desa yang menjadi hak, kewenangan, kewajiban dan tanggung jawab desa, melainkan menjadi program pemerintah. Yang terjadi adalah berbagai pihak kemudian melihat, meributkan, menumpangi, dan memanfaatkan dana desa” ujar Sutoro Eko yang pernah menjadi salah satu Tim Ahli pembentukan UU Desa.
Salah kaprah kedua, alih–alih menangani desa dengan konsolidasi satu pintu, desa malah menjadi arena kontestasi kelembagaan yang terfragmentasi.
“Urusan desa dibelah dua Kementerian yaitu Kemendagri dan Kemendesa yang membikin ribet. Kemendagri, Kemendesa, Kemenkeu, BAPPENAS, Kemenko Polhukam, dan Kemenko PMK, tidak terkonsolidasi dengan baik, karena jalur koordinasi yang berbeda dan cara pandang yang berbeda. Kemendagri, Kemendesa, BAPPENAS masing–masing memiliki tipologi perkembangan desa dan indeks yang berbeda. BPKP yang memiliki perangkat SISKEUDESA tidak hanya berperan melakukan pengawasan, tetapi juga ikut mengatur, memerintah dan melarang desa. Kehadiran Polri dan Kejaksaan terlibat dalam binwas menambah kerumitan dan ketakutan, serta berimplikasi minimalisasi substansi”, jelasnya.
Sutoro menilai, Kemendagri suka pada pemerintahan desa. Kemendesa suka pada pembangunan desa. BAPPENAS lebih suka pembangunan perdesaan. Kementerian sektoral lebih suka pada masyarakat desa ketimbang desa. sedangkan Kemenkeu sebenarnya lebih suka pada program penanggulangan kemiskinan di desa yang terkendali dari atas.
Sutoro mengatakan, salah kaprah kedua ini juga terjadi di daerah, yaitu terdapat benturan antara OPD desa, OPD pemerintahan, OPD keuangan, OPD hukum, dan OPD teknis (PU). Secara umum, lanjutnya, rezim keuangan dan pengadaan barang jasa lebih dominan dijumpai desa, ketimbang rezim desa yang utuh.
Salah kaprah ketiga, alih–alih melayani penetapan pertama desa adat yaitu pada 15 Januari 2014 sampai dengan 15 Januari 2015, negara malah membiarkan bahkan menghambatnya.
Salah kaprah keempat, negara lebih banyak mengatur dari pada mengurus desa. Negara lebih banyak mengawasi ketimbang membina desa.
Salah kaprah kelima, alih–alih melakukan rekognisi dengan mengakui, menghormati dan mempercayai, negara malah melakukan pengendalian dan pengaturan dengan birokratisasi dan regulasi.
“UU diatur oleh PP, PP diatur oleh Permen, Permen diatur oleh Perbub. Yang sampai di tangan desa bukan substansi UU Desa tetapi Permen dan Perbub. Berbagai aturan bukan enabling terhadap hak dan kewenangan desa, melainkan malah melakukan constraining. Sehingga lebih banyak membatasi dengan kewajiban ketimbang memberkuasakan desa. Aturan yang berlebihan juga membuka celah yang banyak untuk melakukan kesalahan dan sekaligus menjadi alat untuk perburuan rente”, tegasnya.
Salah Kaprah Keenam, Sutoro melanjutkan, alih–alih melembagakan dan menjalankan pendekatan kombinasi “desa membangun” dan “membangun desa”, negara malah menggunakan pembangunan–yang dipikirkan sendiri–untuk memerintah dan mengendalikan desa.
“Contoh terkemuka yang salah kaprah adalah SDGs Desa yang digunakan untuk memerintah dan mengendalikan desa”, ujar Sutoro.
Salah kaprah ketujuh, alih–alih melembagakan dan melayani pembentukan sistem dan formasi desa baru, pendekatan proyek dana desa dan pembangunan desa menjadi utama yang dikelola secara teknokratis untuk menghasilkan lebih banyak proyek.
“Karena sekadar proyek dana desa, maka teknokrasi pasti mengikuti, bahkan menjadi paling utama, ketimbang demokrasi. Teknis mendahului politik. RAB mendahului APBDes. Siskudes adalah sebuah perangkat teknokratis yang membunuh hakekat. Ada banyak proyek mengikuti, yaitu desa wisata, desa digital, smart village, data, indeks, dan lain–lain yang semua menarget desa. akhirnya desa menjadi locus perburuan data untuk pertunjukan output”, ungkap Sutoro.
Salah kaprah kedelapan, adalah alih–alih memperkuat kedaulatan uang rakyat, malah mengalami distorsi menjadi keselamatan uang negara melalui taktik anti-korupsi, moralisasi, dan kriminalisasi.
Menurut Sutoro, sejak zaman kolonial, supradesa dan teknokrat menuding bahkan menghakimi bahwa orang desa itu bodoh, malas dan suka mencuri atau clemer.
“Kalau desa sulit berubah, kata aliran anti-desa ini, karena SDM yang rendah, dengan tiga ciri itu”, jelasnya.
Dalam salah kaprah ini, spirit anti-korupsi yang anti-politik bahkan mengalahkan spirit politik demokrasi. Ia disertai ancaman, aturan, perangkat yang rigid untuk kesemalatan uang.
“Kalian hati-hati pegang dana desa, penjara menunggu kalian, ini saya kutip ungkapan dari seorang bupati. Para gubernur dan bupati/walikota saja banyak yang masuk penjara, apalagi kepala desa, kata seorang professor. Dana desa tidak akan efektif karena hanya dirampas oleh elite lokal, kata seorang peneliti ahli”, Sutoro Eko Menjelaskan.
Salah kaprah kesembilan, alih–alih memperkuat desa menjadi subjek yang emansipatoris, negara malah memaksa dan memperalat desa menjadi objek dengan pendekatan instruksi, target, dan perangkat untuk pertunjukan bahwa target objeknya berhasil, maka yang dilakukan adalah menumpuangi desa-desa yang sukses seperti Panggungharjo dan Ponggok. Padahal kedua desa ini sudah mulai hebat sebelum ada UU Desa.
Salah kaprah kesepuluh, alih–alih melayani desa dan memberkuasakan desa, pendampingan desa menjadi pekerjaan yang mendampingi proyek dana desa dan SDGs, memburu data, dan melayani menteri.
Dengan sepuluh salah kaprah itu, Sutoro Eko mengambil kesimpulan bahwa UU Desa belum dilaksanakan, kecuali pelaksanaan proyek dana desa dengan diikuti sederet proyek, administrasi, aturan, dan perangkat yang mengatur, mengendalikan, memperlalat, dan menarget desa. (Red)
Formulir Penulisan Komentar
Pencarian
Komentar Terkini
Statistik Kunjungan
Hari ini | |
Kemarin | |
Pengunjung |