Kenduri Gumbergan

marsono_marsono 09 Maret 2021 20:55:07 WIB

“Sesenono cah…, aku nganakake Gumbregan

 

Kewane supaya bisa nredho widodo,

 

Nek manak lanang iso ngebaki kandang

 

Nek manak wedok iso nyesaki lawang

 

Slamet ing kandang, slamet ing ombene,

 

Slamet ing pakane

 

Kembang jagung turah sapi kurang dadung

 

Kembang terong turah sapi kurang brongsong

 

Kembang jambu turah sapi kurang luku

 

Kembang gedang turah sapi kurang pasangan

 

Kembang serut turah sapi kurang pecut

 

Gendroyono gelatik neng tumpale

 

ojo kandek ojo kampir kandekko kandang lumbunge”

 

      Semacam doa, semacam mantra. Kalimat itu diucapkan oleh pemilik rumah di tengah-tengah upacara adat Gumbregan. Tradisi ini terutama masih dilaksanakan secara rutin oleh masyarakat di kawasan Gunungkidul. Tujuannya adalah menyampaikan rasa syukur atas rejeki dan ucapan terima kasih kepada ternak yang telah membantu petani memperoleh rejeki tersebut. Jadi, Gumbregan adalah tradisi yang melambangkan betapa dekat masyarakat petani dengan hewan ternak mereka.

 

     Ternak bagi masyarakat petani bukanlah hewan biasa. Dia memperoleh tempat yang istimewa karena peran sertanya dalam mencari rejeki. Ternak membantu petani mengolah sawah. Kotorannya menjadi pupuk yang menyuburkan. Hasil-hasil pertanian juga diangkut ke rumah dengan tenaga ternak, terutama ketika alat transportasi modern belum tersedia. Ternak, secara ekonomi juga adalah bentuk lain dari tabungan. Petani mencari rumput setiap hari dengan harapan ternaknya semakin besar dan mahal ketika dijual. Dari sanalah, kecintaan petani pada ternak terbangun seiring waktu.

 

      Tidak mengherankan jika kemudian Gumbregan diselenggarakan sebagai tanda cinta petani kepada ternaknya. Petani meyakini bahwa seluruh hewan adalah peliharaan Nabi Sulaiman. Karena itu, tradisi Gumbregan ini terkait dengan rasa syukur dan terima kasih terhadap Nabi Sulaiman. Karena dilaksanakan pada periode Wuku Gumbreg, maka tradisi inipun disebut sebagai Gumbregan. Wuku sendiri adalah periode waktu selama 7 hari. Setiap periode yang disebut wuku ini memiliki nama sendiri-sendiri, dan seluruhnya terdapat 30 wuku dalam kebudayaan Jawa dan Bali.

     Sajian dalam tradisi Gumbregan adalah makanan tradisional yang berasal dari hasil bumi seperti ketela, kimpul, nasi kupat, kolak pisang, jadah, dan trembili. Ada juga among–among, yaitu nasi putih dibungkus daun pisang yang dibuat lancip, ukurannya kecil dan diberi lauk pauk. Berbagai jenis kupat yang digunakan adalah: kupat luar, kodok, cepuk, bantal, lepet, bucu limo, dan kepes. Menurut falsafahnya, jadah aran yaitu ketan yang dikukus kemudian dipenak memiliki sifat pliket atau melekat yang dimaksudkan agar tradisi ini melekat di masyarakat.

 

     Kesederhanaan sajian ini bukan tanpa alasan. Penggunaan hasil bumi hasil kebun sendiri adalah pelaksanaan prinsip hidup qonaah atau sederhana.

 

     Gumbregan diawali dengan doa bersama di teras milik tuan rumah. Sajian makanan tradisional disuguhkan dan doa diselenggarakan. Kutipan di awal tulisan ini adalah salah satu doa yang biasa dibaca dalam acara Gumbregan. Begitu doa selesai diucapkan, hadirin yang terdiri laki-laki dan anak-anak, serempak menjawab sorakiyunnnn. Semacam pengaminan atas doa yang disampaikan tadi.

 

     Seusai berdoa di teras rumah, acara berlanjut ke kandang ternak. Air bening yang disertakan dalam prosesi doa kemudian dipercikkan dan diusapkan ke kepala hewan ternak. Tidak lupa, sebagian makanan juga diberikan langsung kepada ternak, sebagai ucapan terima kasih atas peran mereka dalam mencari rejeki.

 

     Berbagai macam kupat yang tadi disertakan dalam doa bersama juga dibawa ke kandang. Rangkaian kupat ini diletakkan di langit-langit kandang. Di malam hari setelah itu, anak-anak boleh mengambil kupat-kupat tersebut. Karena itulah disertakan kupat yang tidak ada isinya, sehingga anak-anak tidak mengambil jenis kupat ini. Karena tidak diambil, maka masih ada sisa kupat yang menggantung di kandang yang menjadi jatah untuk ternak disana.

 

     Tradisi Gumbregan adalah bukti sifat luhur masyarakat petani di Jawa, khususnya di Yogyakarta yang begitu peduli dan sayang pada hewan ternaknya. Ucapan syukur dan kebijakan berbagi hasil bumi langsung kepada ternak adalah ucapan terima kasih dan keikhlasan dari petani untuk ternak kesayangannya.

 

LOKASI

 

     Gumbregan banyak diselenggarakan masyarakat di seluruh Gunungkidul. Waktu tempuh dari Kota Yogyakarta sekitar 2 jam rata-rata.

 

 

 

WAKTU

 

     Wuku Gumbreg. Tidak dapat ditentukan menggunakan kalender masehi. Jadwal tentatif biasanya diumumkan oleh Dinas Pariwisata setempat 

 

 

dari berbagai sumber

jarkomdes

internetnya desa dengok

 

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar
 

Pencarian

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Pengunjung